Logo Bank Indonesia
|
Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 1,99% terhadap greenback secara point-to-point. Luar biasa, nyaris 2%.
Chart Dollar Terhadap Rupiah (Malven News) |
Penguatan rupiah begitu mencolok dibandingkan mata uang Asia lainnya. Alhasil, rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning selama sepekan ini. Dalam hal menguat terhadap dolar AS, tidak ada yang sebaik rupiah.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap mata uang Asia dalam seminggu terakhir:
Pergerakan Kurs Dolar Terhadap Mata Uang Asia |
Terlihat bahwa mayoritas mata uang utama Asia mampu greenback. Maklum, dolar AS memang sedang tertekan. Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,23% selama minggu ini.
Investor sepertinya merealisasikan proyeksi yang mengemuka sejak akhir 2018, yaitu dolar AS akan lengser keprabon dari singgasana raja mata uang dunia. Sebab, tahun ini kemungkinan besar The Federal Reserve/The Fed tidak akan seagresif tahun lalu dalam hal menaikkan suku bunga acuan.
Sepanjang 2018, Jerome 'Jay' Powell dan kolega menaikkan Federal Funds Rate sampai empat kali ke median 2,375%. Untuk tahun ini, target median suku bunga acuan The Fed adalah di kisaran 2,8% sehingga pelaku pasar memperkirakan setidaknya ada dua kali kenaikan. Laju kenaikan suku bunga acuan akan berkurang setengah dibandingkan tahun lalu.
Akan tetapi, sebagian pelaku pasar juga menilai ada kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan sepanjang 2019. Bahkan ada yang memperkirakan The Fed bakal menurunkannya!
Ramalan itu bukan tanpa alasan. Data-data ekonomi AS akhir-akhir ini memang kurang bagus,.
Kemarin malam, US Bureau of Labor Statistics merilis angka pengangguran Desember 2018 yang sebesar 3,9%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,7%.
Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka ini menjadi yang terendah sejak November 2016.
Untuk PMI versi IHS Markit, angka pada bulan lalu adalah 53,8. Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2017.
Lalu pada kuartal III-2018, ekonomi AS tumbuh 3,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%. Bahkan untuk kuartal IV-2014, The Fed hanya memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6%.
Berbagai data tersebut seakan memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS memang memasuki fase perlambatan. Dampak stimulus pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang dirilis pada akhir 2017 sepertinya sudah selesai, ekonomi AS kehabisan nitro untuk melesat.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah tepat bagi The Fed untuk mengencangkan ikat pinggang saat ekonomi memang sudah melambat? Apakah menaikkan suku bunga saat ekonomi lesu tidak menyebabkan perlambatan yang lebih parah, atau bahkan kontraksi?
Didasari oleh argumen tersebut, maka menjadi masuk akal jika The Fed bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada 2019. Bahkan kemungkinan untuk menurunkan menjadi cukup terbuka.
Kabar tersebut
tentunya membuat dolar AS kehilangan keseksiannya. Tanpa kenaikan suku bunga
acuan, tidak ada pemanis untuk berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS.
Oleh karena itu, investor pun berbondong-bondong meninggalkan mata uang ini.
Comments
Post a Comment